Dalam islam ada kaidah syar’i tentang
memahami arti ilmu. Kalau dalam kitab matan thalabul ilmu itu disebutkan “
Al-Ilmu Idraka syai bihaqiqatihi” Ilmu adalah memahami sampai ke hakikatnya.
Itulah kenapa dalam islam ada kewajiban belajar sesuatu sampai tuntas. Sudah
sunnatullah menuntut ilmu itu butuh waktu lama. Kata Imam Syafi’i tradisinya
ilmu antara lain: Membutuhkan dinar (biaya), belajar pada guru dan membutuhkan
waktu. Tidak ada yang namanya menuntut ilmu itu hasilnya instant.
Sayangnya zaman sekarang banyak orang
ga berhati-hati mengeluarkan pendapat dalam urusan agama. Padahal baru belajar
via google, misalnya. Dalam urusan fiqih saja betapa luasnya rahmat Allah.
Bahkan imam empat mahzab saja berbeda pendapat dalam urusan salat. Dan masya
Allah mereka saling menghargai. Imam Syafi’i itu berguru pada Imam Malik. Dan
berbeda pendapat dalam banyak urusan fiqih dengan gurunya. Tetapi tidak satupun
keluar kata-kata yang tidak pantas kepada gurunya tentang perbedaan pendapat
diantara mereka. Masya Allah. Orang-orang berilmu memang beda maqamnya ya
dengan kita-kita yang level awam ini. Inilah adab sebelum ilmu para ulama
salaf.
Itu dalam urusan fiqih. Apalagi dalam
urusan ushul fiqih. Masya Allah. Para ulama itu sangat berhati-hati. Karena
ushul fiqih kan kaidah dalam menentukan hukum dalam islam. Pasti perbedaan
pendapat para ulama lebih tajam lagi. Tetapi mereka sangat menghormati ulama
lain.
Saya belajar betul bagaimana
perbedaan dalam ushul fiqih ini bisa kita bikin naik darah karena perbedaan
pendapat. Dalam kuliah Ushul Fiqih di kelas pasca sarjana saja saya berusaha
betul untuk tidak ‘ misuh-misuh’ dalam hati karena sering berbeda pendapat
dengan profesor. Khawatirnya sekali saya misuh dan meremehkan profesor saya
lalu ilmu saya jadi ga berkah. Naudzubillah. Dan masya Allah dosen saya
orangnya sangat legawa dan tahu betul bahwa murid boleh mengeluarkan pendapat
mereka di ruang akademik dengan bebas. Tetapi alhamdulillah guru dan murid
saling menghargai perbedaan pendapat.
Itulah pentingnya menuntut ilmu
dengan guru dan sampai tuntas. Dalam islam sebelum belajar maka yang
didahulukan adalah belajar adab. Kitab Ta’limul Muta’alim itu jadi buku rujukan
adab para murid kepada guru yang menjadi kitab yang harus dipelajari sebelum
seseorang mempelajari ilmu yang lebih lanjut.
Anak-anak saya belajar kitab Ta’limul
Muta’alim ini kepada seorang ustad sebelum mereka masuk pondok dan
Boarding-school. Alhamdulillah ini bekal yang bagus banget untuk mempersiapkan
mereka takdzim pada guru.
Ada satu cerita menarik yang saya
dapat, setelah mengintip isi dm-an sosmed anak sulung. Saat itu ia sedang
liburan jadi boleh pegang handphone. Dan ia chat dengan beberapa kawannya. Salah
satunya seorang teman perempuan. Osama punya banyak teman sesama atlet pencak
silat. Hampir 5 tahun dia aktif di pembinaan atlet DIY. Dan saya takjub ketika
membaca obrolan virtual Osama dengan kawannya ini. Dimana anak gadis itu sedang
menyumpah-nyumpah gurunya, karena anak gadis ini ditegur oleh gurunya. Bahkan
si anak perempuan yang langsung saya lupakan namanya ini (saking kezelnya saya)
menyebut gurunya dengan “ Dasar babi” astaghfirullah. Dan Alhamdulillah tanggapan
Osama bikin hati dan ujung mata saya basah “ Ga boleh gitu, ntar ilmunya ga berkah
lo” padahal bisa dibilang obrolan Osama dengan teman-temannya itu bahasanya
kadang kasar. Kan saya udah bilang saya punya privilege melihat isi obrolan dia dan teman-temannya. Tetapi Osama tetap memilih tidak menggunakan kata-kata kasar
terhadap sosok guru. Takut juga dia kalau ilmunya ga berkah. Karena balasan
kalau tidak takdzim dengan guru itu ya paling ringan hilangnya keberkahan ilmu.
Nadzubillah. Saya selalu pesen sama Osama " Mbeling entuk ning kudu tetep soleh". Dan melawan guru itu bukan bentuk kesholehan.
waah MasyaAllah bertemu blogger panutan d grup ISB.. salam kenal mak 😇
BalasHapus