Jadi inget dulu, puluhan tahun yang
lalu saat masih duduk di bangku SMP saya punya seorang kakak kelas yang pinter
banget. Nah, kami pernah berdebat. Waktu itu dia pernah ditanya. Milih mana “
Uang atau pinter?” dan dia jawab dengan tegas “ Uang” hehehehe. Saat itu banyak
teman-temannya yang mengejeknya mata duitan. Tapi otak masa remaja saya sudah
mikir. Lah, jelas dia bakalan milih duit la wong dia udah pinter. Banyak hal
terputus termasuk masa depan hanya karena dia tidak memiliki akses ke pendidikan
yang layak dan pendidikan yang layak itu jelas butuh duit. Hehehe.
Sebagai deretan orang yang sejak
kecil tertanam di pikiran bahwa pendidikan harus diupayakan bagaimanapun
caranya, maka saya jelas tahu betul betapa duit memudahkan akses ke pendidikan
yang bermutu. Sekarang aja ya, pondok-pondok pesantren ternama dan bagus butuh
duit yang ga bisa dibilang sedikit. Pondok-pondok tahfidz ternama itu uang
pangkal saja menyentuh angka 20-an juta. Serius ini. Belum lagi sekolah yang
katanya mengikuti pendidikan ala Rasulullah yang diusung seorang ustada pakar
sirah ternama, itu biayanya ga murah lo. Ga ada buruh tani yang meskipun
anaknya pinter sundul langit yang bakalan melirik memasukkan anaknya ke kuttab
misalnya. Please, ini bukan untuk ajang perdebatan ya. Tapi ini realita.
Bahkan saya punya teman seorang
ummahat yang berjualan online dan dia bilang dengan jujur dia bekerja keras
untuk membiaya sekolah anaknya di sekolah-sekolah islam. Saat ini ga Cuma sekolah
negeri yang ribet masuknya tapi juga sekolah islam. Perdebatan yang ga pernah
selesai di kelas “ rekonstruksi Pendidikan islam” di pasca sarjana yang saat
ini saya tempuh untuk membahas “ Pendidikan untuk siapa?”. Berlembar-lembar
mentok pembahasan tentang satu soal ini saja. Setiap pertemuan profesor saya
selalu mengajak diskusi yang akhirnya mentok hanya di diskusikan saja. Karena tahu
bahwa itu Cuma sekedar jadi pembahasan di meja ilmiah tapi ga sampai menyentuh
ke dasar permasalahan. Ini diskusi kelas pascasarjana ya. Belum yang di tingkat
yang lain.
Tetapi di atas itu semua saya selalu
memotivasi anak-anak bahwa “ Menuntut ilmu adalah tradisinya kaum muslimin”. Tidak
ada sejarahnya seorang mukmin itu berhenti belajar. Tradisinya orang-orang
beriman adalah lekat dengan tradisi keilmuan. Tradisinya orang-orang mukmin
adalah membaca kitab-kitab ilmu dan mengkajinya lalu menghasilkan ilmu baru. Memotivasi
anak-anak untu tetap konsisten menuntut ilmu di era gaya hidup gemerlap adalah
impian semua orang tentu saja berat. Belum lagi mengingat saat ini kondisi
keuangan kami yang terbatas. Tetapi sekali lagi tradis orang-orang beriman
adalah “ jangan berputus asa dengan rahmat Allah”. Selalu ada jalan bagi para
penuntut ilmu. Insya Allah.
Saya bicara jujur pada putra sulung
saya. Mengingat kondisi kami saat ini saya tidak tahu apakah saya bisa
membiayai kuliahnya dengan biaya mandiri kelak. Tetapi saya selalu motivasi
bahwa selalu ada jalan Allah yang menjadi jawaban untuk orang-orang yang
berusaha. Saya memintanya pindah ke luar negeri. Saya yakin di sana ada sesuatu
yang bisa mengubahnya menjadi lebih baik. Dengan syarat ia membekali dirinya
dengan agama yang baik. Dan anaknya Alhamdulillah paham. Bahwa ibadah yang
konsisten insya Allah memberi jalan untuk sesuatu yang kadang di mata manusia
sesuatu yang mustahil. Seperti yang pernah dia bilang “ Cita-citamu tinggi tapi
sujudmu freestyle”. Jangan sampai ya Le. Duit kita terbatas, kemampuan kita
terbatas tetapi Allah Maha Kaya dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada
yang tidak mungkin bagi Allah. Bukankah Allah sendiri yang berkata “ Kun
fayakun, maka jadilah ia”.
sebuah tulisan untuk menyemangatin diri sendiri biar tetap semangat menggarap tesis yang kadang kehilangan tenaganya. Hahahaha.
Bercita cita punya sekolah gratis. Baru punya tumah tahfidz gratis seuplik. Sanggar Hammam semacam Lab. Sanggarnya berbayar membiayai rumah tahfidz yg gratis. Semoga Allah mampukan bikin dan memfasilitasi yang bener bener nggak mampu. Aamiin
BalasHapus