Jajanan Tradisional, Kearifan Lokal Yang Harus Kembali Dimunculkan
Beberapa tahun lalu saya memulai
sebuah kebiasaan yang intinya membiasakan anak-anak memakan jajanan
tradisional. Istilah kerennya sih Being Local. Menjadi masyarakat local termasuk
mengkonsumsi makanan yang tersedia di daerah tersebut.
Karena kami tinggal di Jogja otomatis
kami membiasakan diri dengan makanan khas Jogja. Untungnya anak-anak saya itu
gampang banget untuk urusan makanan. Apa aja yang disediakan di atas meja makan
dijamin habis dimakan sama mereka. Alas an sederhananya sih karena saya sendiri
membiasakan anak-anak bersyukur dengan apa yang didapat. Jadi mau gam au apa
yang ada di meja mereka mau aja makannya.
Nah kembali ke jajanan tradisional
ini. Beberapa tahun lalu ada komunitas di Jogja yang mengajak masyarakat
kembali pada makanan local. Dan saya bersykur banget bias sempat ikut merasakan
campaign tersebut. Karena kebetulan komunitas tersebut hanya selemparan batu
dari rumah kami di Jl.Pleret.
Setiap berbelanja ke pasar saya
membiasakan diri membeli jajanan pasar semisal jenang sum-sum, jenang gempol, tiwul,
gethuk, gronthol, onde-onde, klepon, dan beberapa lagi kudapan tradisional yang
lain. Selain harganya murah meriah kebanyakan kudapan ini masih tradisional
banget pembuatannya dan minim zat tambahan semisal pewarna dan pemanis buatan. Oleh-oleh
saya kalau pulang dari pasar ya ga jauh-jauh dari jajanan tersebut. Makanya ga
heran anak-anak doyan banget kudapan tersebut.
Mungkin karena tinggal di desa kami
jarang membeli makanan siap saji. Anak-anak ga familiar dengan pizza, burger
atau cake-cake kekinian yang lagi booming di Jogja. Bias dibilang selera saya
dan anak-anak itu selera ndeso. Meskipun sesekali mencicipi makanan seperti itu
tetap saja selera kembali ke ‘asal’. Ga jauh-jauh dari telo dan jagung.
Untungnya di pasar-pasar tradisional
di Jogja makanan tradisional masih banyak banget yang buat. Bahkan kalau di kampong-kampung
ada simbah-simbah yang keliling naik sepeda sambil membawa kronjot (keranjang bamboo)
yang isinya kuali dari tanah berisi jenang sumsum, jenang gempol, dan bubur
sagu mutiara. Biasanya jam 9 pagi sampai jam 11-an para simbah ini keliling kampong
menjajakan dagangannya. Anak-anak saya langganan jajanan ini dari kecil. Semangkuk
kecil harganya 500 perak. Dan saya berani bilang hamper semua anak-anak Jogja
terbiasa dengan jajanan ini. Karena memang anak-anak yang tinggal di daerah kampung-kampungnya
masih berlangganan makanan ini.
Sayangnya para pembuat jajanan
tradisional ini sudah mulai berkurang karena kebanyakan penjualnya memang sudah
sepuh-sepuh. Karena alasan ini juga sekarang saya mencoba membuat sendiri
beberapa kudapan ini. Coba cek aja di instagram saya khusus resep keluarga kami
di @dapur_simak banyak banget makanan tradisional. Saya berharap kecintaan
anak-anak dengan makanan tradisional terus bertahan sampai mereka dewasa.
jajanan tradisional juga lebih sehat ya mak karena ga pake pengawet
BalasHapusDuuh, jadi pingin ondol-ondol. :D
BalasHapus