5 Tips Budaya Sensor Mandiri Yang Bisa Dilakukan Orang Tua di
Rumah
Sudah 10 tahun ini
keluarga kami memutuskan tidak memiliki televisi. Sejak televisi pemberian ibu
rusak kami akhirnya memilih untuk tidak membeli televisi baru. Alasannya sederhana,
biar anak-anak lebih bermain secara aktif. Itu saja. Semakin ke sini saya merasa
bersyukur melihat beberapa tayangan televisi kita yang jauh dari unsur
mendidik. Meskipun sebenarnya mendidik bukan tugas si televisi sih. Jadi ga
bisa juga kita nyalahin dia. Hahaha. Memang sih budaya sensor mandiri harus di
biasakan oleh para orang tua.
Lalu sebagai hiburan apa
dong tontonan kami? Saya punya jadwal ‘Movie Day’ bersama anak-anak yakni
setiap Sabtu-Ahad. Biasanya saya mencari film-film bagus untuk di tonton di
laptop. Bahkan jika infokus si bapak nganggur kami menonton dengan bantuan
infokus. lalu tontonan seperti apa sih yang boleh tayang di rumah kami. Saya menerapkan
budaya sensor mandiri pada diri
kami. Artinya ada aturan-aturan tertentu yang kami jelaskan pada anak-anak
bahwa mereka boleh menonton tayangan yang ‘ini’ tapi tidak yang ‘itu’. Lalu kami
beri alasan-alasan yang masuk akal. Saya tidak mungkin melarang anak-anak untuk
tidak menonton sama sekali. Beberapa film yang pernah di tonton anak-anak saya
bisa di lihat di sini.
Apalagi sejak Osama
pernah terlibat dalam pembuatan film dokumenter anak-anak. Osama jadi lebih aware dengan banyak tontonan yang
menurut dia ga layak di tonton adik-adiknya. Apalagi dalam workshop tersebut ia
berperan sebagai kameramen dan terpilih sebagai kameramen terbaik. Wuih tambah
sok banget dia ngasih tahu adik-adiknya. “ Ini ga boleh, itu ga boleh, anu ga
boleh, inu ga boleh” hahahaha.
Apakah hanya film
Indonesia yang boleh di tonton anak-anak? Oh tidak. Malah saya pikir
kadang-kadang film-film Indonesia ga lolos sensor kalau tayang di rumah. Hahaha.
Apakah hanya film kartun yang boleh di tonton anak-anak? Tidak juga sih. Bahkan
ada beberapa film kartun yang menurut saya ga layak tayang dihadapan anak-anak.
Banyakkan ya film animasi Disney yang adegan ‘kissing’ nya agak-agak hot, eh. Saya
pikir juga karena masalah budaya. Jadi tetap harus ada budaya sensor mandiri
yang dilakukan setiap orang. Bahkan terhadap film yang ditujukan untuk
anak-anak sekalipun.
Sekitar 5 tahunan lalu
banyak film-film Indonesia bermutu yang ditujukan untuk tontonan keluarga.
Apalagi film-film buatan Alenia Pictures yang biasanya mengangkat budaya khas
Indonesia. Jujur saya dan anak-anak sangat suka film-film Alenia Pictures milik
Nia Zulkarnaen dan Ari Sihasale. Ops, Ini bukan iklan ya. Hehehehe. Film-film
bertema tolong-menolong, persahabatan, kekhasan budaya lokal dan bakti pada
negri itu menurut saya sangat luar biasa. Apalagi biasanya pemandangan yang di
bawa Masya Allah luar biasa indah. Khas Nusantara pokoknya.
Lalu apa sih kriteria
film yang boleh tayang di rumah kami menurut budaya sensor mandiri ala emak
ini? Oia ini standar bagi keluarga saya yang anak-anaknya semuanya masih di bawah
usia 12 tahun buuuuk. Maklum saya mamah muda. Hatsyiiim ^^.
1. Bebas pornografi dan pornoaksi. Ini WAJIB
hukumnya. Bahkan semisal adegan ciuman bibir singkat ala Hollywood sekalipun. Kadang-kadang
saya kecolongan juga. Ratingnya untuk semua umur, eh pas ditonton ada adegan
kiss nya. Tahukan ya saat ini kejahatan pornografi dan pornoaksi sudah sampai
tingat darurat. Dan sasaran terbesar adalah anak-anak. Bisnis pornografi saat
ini menjadi salah satu bisnis yang menggiurkan dan cepat menghasilkan. Jika kita
tidak membentengi keluarga naudzubillah entah bagaimana masa depan keluarga
kita kelak. Saya dan suami sepakat untuk selalu berdiskusi dengan anak-anak
tentang menolak pornografi dan pornoaksi serta meningkatkan kualitas pemahaman
anak-anak tentang agama.
2. Tidak ada adegan kekerasan yang
berdarah-darah. Semisal The Raid itu bukan tontonan anak-anak. Yang orangtua
macam saya saja ngeri nonton The Raid. Apalagi anak-anak. Pingsan di tempat. Bahkan
film-film kartun atau anime yang diadaptasi dari komik-komik Jepang menjadi
sasaran saya. Saya berusaha berhati-hati untuk anime-anime Jepang dan
sejenisnya.
3. Tidak ada kata-kata makian secara
eksplisit maupun implisit yang di ucapkan oleh si tokoh utama atau pendukung. Pernahkan
ya nonton film si tokohnya mengacungkan jari tengah sambil bilang secara lirih ‘Ash#%e’.
Hahaha. Itu sudah masuk kategori censored
kalau di rumah saya. Hahaha. Maklum buuuk anak saya enam. Kalau satu bilang
gitu yang lain ikutan semua. Repot emaknya. Hatsyiiim -_____-
4. Bebas dari adegan-adegan berbahaya ga
masuk akal dan tidak mendidik semisal, menangkap ular tanpa keahlian sama
sekali. Apalagi kayak dulu ada tayangan Panji Sang.... yang pas adegan
menangkap ular, eh si ularnya di cium sama Panji. Ooyyyyy, yang nonton
anak-anak. Kalau di nemu ular di jalan dan langsung disosor berapa anak
Indonesia yang mati di patuk ular?. Yang benar aja kalau bikin tayangan. Esmosi
saya. Beneran. Mending nonton tayangan National Geographic deh. Edukatif sekaligus
ilmiah. Atau semisal tayangan naik motor pengendaranya anak-anak nah itu juga
censored. Jadi sorry dorry morry deh buat tayangan sinetron Indonesia ga lolos
sensordi rumah emak deh.
5. Berhati-hati dengan film-film yang
membawa unsur free sex, LGBT, dan anti agama. Film-film ini memang sih tidak
menyebutkan secara terang-terangan dukungan mereka. Jadi sebaiknya sih
berhati-hati ketika menontonnya. Kita tonton dulu baru kemudian kita bisa
berpikir apa tontonan ini layak atau tidak.
Itu sebagian tips yang
biasanya saya lakukan terhadap tayangan di rumah kami. Kalau ada yang kurang
bisa ditambahkan. Kita bisa saling diskusi. Kebetulan saya dan anak-anak
penikmat film. Tahun ini saja sulung kami yang baru saja menjalani Ujian Kejar
Paket A-nya memutuskan untuk mengambil kelas animasi dan menjalani
homeschooling lagi. Jadi tentu saja diskusi tentang dunia perfilman di rumah
kami akan terus menghangat sepertinya.
Saya percaya bahwa ketika
mendidik kita tidak cukup hanya dengan melarang tetapi harus ada alasan yang
jelas kenapa hal tersebut dilarang. Dan diskusi terbuka antar keluarga itu
sangat penting. Mengajak anak-anak terlibat langsung dalam diskusi keluarga itu
sangat membantu. Apalagi jika itu berkaitan dengan mereka juga.
Alenia pictures ya, coba cari deh, selama ini Thifa kubilang boleh nonton Upin Ipin sama Syamil Dodo aja.
BalasHapusMantab artikelnya, cocok buat para orang tua :-D
BalasHapusnah butuh banget nich yang namanya sensor mandiri dari orangtua,
BalasHapusSama mak. Film anak2 aja pasti aku coba tonton dulu biar gak kecolongan ditonton Ais.
BalasHapusVilla kami di Kaliurang pernah jadi lokasi film Liburan Seru produksi Alenia lo mak. Rumah cat putih yg jadi lokasi utama liburan di film itu. Aku punya TV dinyalain tp nggak pernah ditonton, biar ada suara aja krn anak2 punya kamar sendiri2, aku kesepian. Makanya aku gak paham apa itu Utaran & drakor2 gitu.
BalasHapus